Sabtu, 08 Februari 2014

SEJARAH MASAKAN JEPANG

Sejarah Masakan Jepang

          Kali ini kita akan membicarakan asal-usul dari masakan Jepang. Bagi Anda yang suka makan, mungkin masakan Jepang tidak asing lagi bagi lidah Anda. Rasanya yang enak dan manis membuat Anda ketagihan . Tidak hanya rasanya tetapi bahan-bahan dan bumbu yang digunakanpun menyehatkan ditambah dengan penampilannya yang menarik. Apalagi sekarang ini restoran-restoran yang menyediakan masakan Jepang tersebar di mana-mana. Sukiyaki, nigirizushi, dan tempura adalah salah satu contoh masakan yang sangat populer di Indonesia, tetapi tahukah Anda sejarahnya? yu..k mari kita simak sejarahnya berikut ini.

Sejarah

Awal sejarah tertulis

          Nihon Shoki merupakan literatur klasik yang memuat sejarah tertulis paling tua tentang masakan Jepang. Nihon Shoki mengisahkan tentang Iwakamutsukari-no-mikoto yang merupakan nenek moyang klan Takahashi. Iwakamutsukari-no-mikoto menghidangkan Namasu dari ikan cakalang dan kerang Hamaguri yang dipotong-potong dan diacar dengan cuka. Hidangan ini dibuat untuk Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi provinsi Awa karena bersedih atas kematian Yamato Takeru. Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak istana dan kemudian dijadikan dewa masakan.

Asal-usul masakan

          Nasi mulai dimakan orang Jepang sejak zaman Jomon dengan lauk dari bahan makanan yang dibuat nimono, dipanggang, dan dikukus. Cara mengolah makanan dengan menggoreng dikenal di zaman Asuka dan berasal dari semenanjung Korea dan Tiongkok. Teh dan masakan khas pendeta diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, tapi hanya berkembang di kalangan kuil. Makanan khas pendeta dikenal sebagai makanan Buddhis (Shōjin ryōri) yang melarang keras hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dijadikan bahan makanan. Menurut literatur klasik Engishiki, di berbagai tempat di Jepang barat terdapat upacara yang menggunakan ikan hasil fermentasi yang disebut Narezushi sebagai persembahan.

Masakan zaman Nara

          Pengaruh kebudayaan Tiongkok yang kuat di zaman Nara berpengaruh pada masakan di zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan pada ritual dan perayaan yang berkaitan dengan musim. Di sepanjang tahun selalu ada perayaan dan pesta makan-makan. Cara memasak dari Tiongkok mulai digunakan untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari Tiongkok dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.

Masakan zaman Heian

          Di zaman Heian, masakan Jepang makin berkembang sambil terus menerima pengaruh dari daratan Tiongkok. Pada masa itu mulai dikenal makanan seperti Karaage, Karani, kue-kue asal Tiongkok (Tōgashi), dan Natto ala Tiongkok. Sementara itu, aliran masak-memasak dan etiket makan juga berkembang di kalangan bangsawan. Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran Shijō berjudul Shijōryūchōshiki atas perintah kaisar Kōkō. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang sering memiliki altar pemujaan (kamidana) untuk Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.

Masakan zaman Kamakura

          Makanan olahan dari tahu yang disebut Ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan makin populernya tradisi minum teh dan meluasnya ajaran Zen. Di zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani latihan dikenal sebagai masakan Kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai kembali ke Jepang membawa teh dari Tiongkok yang dinikmati dengan masakan Kaiseki. Masakan ini nantinya berkembang menjadi makanan untuk resepsi atau jamuan makan yang juga disebut Kaiseki, tapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda.

Masakan zaman Muromachi

          Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai juga ikut dalam urusan masak-memasak di dalam istana kekaisaran dan tata krama sewaktu makan semakin berkembang. Aliran etiket Ogasawara berasal dari etiket kalangan samurai dan bangsawan di zaman Muromachi dan masih dikenal hingga sekarang.
          Pejabat Chūnagon bernama Yamakage no Masatomo mendirikan aliran masak-memasak yang disebut aliran Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul Shijōryūchōsho (buku memasak aliran Shijō). Sementara itu, aliran memasak bernama Ōkusaryū juga didirikan klan Ashikaga, dan sejak itu orang mulai cerewet mengenai cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya Honzen (Honzen no seishiki) dan gaya Kaiseki merupakan dua aliran utama masakan Jepang di zaman Muromachi. Pada gaya Honzen, makanan dalam porsi cukup untuk satu orang dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut Ozen. Sementara itu sebagai tandingan gaya Honzen diciptakan makanan gaya Kaiseki yang berkembang dari tradisi menghidangkan makanan dalam porsi kecil seperti dalam upacara minum teh.
          Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk “luar negeri”, khususnya Portugal dan Asia Tenggara), dan Nambansen adalah sebutan untuk kapal dari luar negeri. Kedatangan kapal-kapal dari Namban sejak zaman Muromachi hingga zaman Sengoku membawa serta berbagai jenis masakan yang disebut Nambanryōri (masakan luar negeri) dan Nambangashi (kue luar negeri). Kue Kastela yang menggunakan resep dari Portugal termasuk salah satu contoh Nambangashi.

Masakan zaman Edo

          Kebudayaan orang kota berkembang pesat di zaman Edo dan makanan penduduk kota seperti Tempura dan minuman Mugicha mulai banyak dijual di kios-kios pasar kaget. Pada masa itu mulai banyak dijumpai rumah makan yang khusus menyediakan Nigirizushi dan Soba. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (ryōtei) yang digunakan kalangan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan gaya Kaiseki atau masakan gaya Honzen. Masakan yang berkembang di Ōrusuichaya disebut Kaisekiryōri (会席料理 masakan jamuan makan?) yang ditulis memakai aksara kanji yang berbeda dengan masakan Kaiseki untuk upacara minum teh.
          Sementara itu, teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (Wagashi) menjadi berkembang berkat tersedianya gula yang sudah menjadi barang yang lumrah di zaman Edo. Alat makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan orang dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Di pertengahan zaman Edo, makanan mulai dihias dengan Wachigai daikon (hiasan dari lobak) sejalan dengan mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur. Di zaman yang sama mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di dalam (Kimigaeshi tamago).

Masakan Kanto

          Masakan Jepang yang dikenal sekarang merupakan hasil penyempurnaan masakan di zaman Edo. Di masa itu dikenal kewajiban Sankin Kōtai bagi daimyo dari seluruh penjuru Jepang. Daimyo harus datang ke Edo untuk melakukan tugas pemerintahan secara bergiliran sebagai pendamping shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan yang khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa dari seluruh penjuru Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo, apalagi ditambah dengan makanan laut dari Teluk Edo (disebut Edomae) yang segar dan enak. Hasil laut dari Samudra Pasifik seperti ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap dalam sashimi.
          Ikan kakap merupakan lambang kemakmuran dan ikan kakap yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan kakap termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja dimakan di tempat pesta, tapi lebih merupakan hiasan yang dinanti-nanti para tamu untuk dibawa pulang. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di rumah berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan kakap, tamu biasanya dipersilakan membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.
          Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di daerah Kanto disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk menandingi masakan Kansai yang telah lebih dulu dikenal. Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin (shōyu) sebagai penentu rasa, termasuk pada berbagai makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan pesta merupakan alasan kecap asin digunakan dalam jumlah banyak pada masakan Kanto, agar rasa makanan tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun mengandalkan garam dapur sebagai penentu rasa.

Masakan Kansai

          Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka dan masakan Kyoto. Berbeda dengan budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan kuil agama Buddha banyak mempengaruhi masakan Kyoto yang banyak menggunakan sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, dan sedikit makanan laut karena letak Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu yang memang sudah “tipis” tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan hasil awetan seperti Bodara (ikan Cod kering) dan Migakinishin (ikan Hering kering) hingga menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
          Sebagai kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin karena menganut prinsip “makanan yang habis dimakan”. Prinsip ini bertolak belakang dengan masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin. Seiring dengan perkembangan zaman, perbedaan antara masakan Kansai dan masakan Kanto menjadi semakin kecil berkat saling belajar dari kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Pengaruh masakan Barat

          Di awal zaman Meiji, masakan Eropa menjadi mulai dikenal orang Jepang yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Sementara itu, di kalangan rakyat tercipta makanan gaya Barat (shoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai aliran masak memasak mengalami kemunduran dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran yang terus bertahan. Larangan makan daging dihapus sesuai kebijakan pemerintah Meiji mengenai Haibutsu kishaku dan Shinbutsu bunri sehingga tercipta masakan Sukiyaki. Sementara itu, Honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai ditinggalkan orang. Masakan tradisional berupa Kaisekiryōri (会席料理 masakan jamuan makan?) beralih menjadi makanan standar yang dihidangkan rumah makan tradisional (ryōtei) dan penginapan tradisional (ryōkan).
Masakan vegetarian Shōjinryōri berlanjut sebagai tradisi di kuil agama Buddha dan makanan porsi kecil Kaisekiryōri (懐石料理?) bertahan hingga sekarang sebagai hidangan upacara minum teh. Di bidang pertanian, tanaman sawi dan spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang disebut Chabudai sebagai pengganti nampan berkaki yang disebut Ozen. Keberadaan Chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri dengan Ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
          Juru masak pewaris tradisi masakan Edo menjadi berkurang karena menjadi korban Gempa bumi besar Kanto dan tradisi masakan Honzen ryōri mulai memudar. Etiket makan mulai menjadi longgar dan orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan. Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah dalam soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan yang sama, walaupun masih tersisa perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan selera.

BENTO

          Bentō (弁当 atau べんとう?) atau o-bentō adalah istilah bahasa Jepang untuk makanan bekal berupa nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan di tempat lain. Seperti halnya nasi bungkus, bentō bisa dimakan sebagai makan siang, makan malam, atau bekal piknik.
          Bentō biasanya dikemas untuk porsi satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti makanan bekal untuk kelompok atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri di rumah. Ketika dibeli, bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali pakai, berikut penyedap rasa yang disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin atau saus uster dalam kemasan mini.
          Ciri khas bentō adalah pengaturan jenis lauk dan warna agar sedap dipandang serta mengundang selera. Bento dapat pula dihias dan disusun rapi dalam gaya yang disebut kyaraben. Kemasan bento selalu memiliki tutup, dan wadah bentō bisa berupa kotak atau nampan segi empat dari plastik, kotak roti, atau kotak kayu kerajinan tangan yang dipernis. Ibu rumah tangga di Jepang dianggap perlu terampil menyiapkan bentō, walaupun bentō bisa dibeli di mana-mana. Di Indonesia, hidangan ala bento mulai dipopulerkan jaringan restoran siap saji Hoka Hoka Bento sejak tahun 1985.
          Bento adalah istilah dari bahasa Jepang untuk makanan bekal yang biasanya berisi nasi, sayuran serta lauk pauk.
          Bento dikemas dalam suatu wadah makanan sehingga sangat praktis dibawa kemana mana dan cocok untuk bekal sarapan, makan siang saat sekolah maupun makan malam bagi yang sudah kerja bahkan cocok juga untuk bekal piknik.

          Bento biasa dsiapkan / disajikan untuk porsi satu orang walaupun arti luas bento itu sendiri adalah makanan bekal untuk banyak orang atau keluarga. Bento biasanya disiapkan ketika dirumah ketika akan bepergian namun ada juga toko toko yang menyediakan bento dengan berbagai pilihan makanan, jadi kalau malas atau tidak sempat membuat bekal bisa tinggal beli saja.

          Di Jepang, Bento sendiri memiliki unsur seni di dalamnya dimana warna makanan, lauk pauk harus ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menggugah selera ketika kita melihatnya nafsu makan kita jadi bertambah. Jadi ibu rumah tangga disana dituntut untuk memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menyusun bento atau bekal makanan.

          Bento ditata dalam wadah kayu berbentuk kotak, wadah plastik, nampan maupun wadah roti.

Sejarah

          Pada akhir zaman Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi kering) dan dibawa di dalam tas kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau direbus di dalam air sebelum dimakan. Di zaman Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah mulai senang makan di luar, dan kotak kayu yang dipernis digunakan sebagai wadah membawa makanan. Bentō mulai dikenal sebagai makanan praktis dalam kesempatan hanami atau upacara minum teh.
          Pada zaman Edo (1603-1867), kebudayaan bentō semakin meluas di kalangan rakyat banyak. Orang yang bepergian atau berwisata membawa makanan praktis yang disebut koshibentō (bentō di pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau nasi di dalam kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu jenis bentō yang disebut makunouchi bentō populer di kalangan rakyat yang menonton pertunjukan noh dan kabuki. Bentō dimakan sewaktu pergantian layar panggung (maku) sehingga dinamakan makunouchi bentō. Di zaman Edo, cara memasak, mengemas, dan menyiapkan bentō untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah diterbitkan dalam buku resep masakan.
          Penjualan paket nasi yang disebut ekiben (駅弁 bentō stasiun?) dimulai sejak zaman Meiji. Ekiben dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan hidangan khas dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun KA Utsunomiya (Prefektur Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai penjual ekiben yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA Utsunomiya dijual ekiben berupa dua buah onigiri berisi umeboshi dan potongan asinan lobak (takuan) dengan pembungkus daun bambu.[2] Bekal bentō yang dibawa murid dan guru juga mulai populer di zaman Meiji. Jam pelajaran baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum memiliki dapur dan kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bentō berisi nasi, penjual bentō juga mulai menyediakan bentō ala Eropa berisi sandwich.
          Pada zaman Taisho (1912 - 1926), perbedaan kaya-miskin yang tajam seusai Perang Dunia I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan kebiasaan membawa bentō ke sekolah. Bentō dituduh sebagai sarana pamer kekayaan bagi anak orang berada yang mampu membawa nasi ke sekolah.
          Pada awal zaman Showa, kotak dari aluminum untuk membawa bento sangat digemari orang Jepang dan merupakan barang mewah. Setelah Perang Dunia II, tradisi membawa bentō secara berangsur-angsur hilang sejalan dengan semakin banyaknya sekolah yang menyediakan ransum makan siang.
          Bentō kembali populer di tahun 1980-an setelah dikenal kemasan kotak plastik polistirena sekali pakai, oven microwave, dan semakin meluasnya toko kelontong 24 jam. Sementara itu, bentō buatan ibu kembali mulai digemari, dan tradisi membawa bentō dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan bentō untuk anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah tangga. Lauk seperti sosis dan nori dipotong-potong atau digunting untuk dijadikan hiasan, seperti daun, bunga, binatang, hingga karakter anime.

Jenis-jenis

  • Shōkadō bentō (松花堂弁当?)
Bentō yang dihidangkan di dalam kotak kayu dengan tutup yang bisa menutup dengan rapat, dan di dalamnya terdapat pembatas untuk membagi wadah menjadi 4 bagian.
  • Chūka bentō (中華弁当?, bentō masakan Cina)
Kemasan bentō berisi makanan Cina
  • Kamameshi bentō (釜飯弁当?, bentō nasi periuk)
Bentō yang menggunakan periuk tanah liat sebagai kemasan.
  • Makunouchi bentō (幕の内弁当?)
Bentō tradisional berisi nasi dan lauk.
  • Noriben (海苔弁?)
Bentō berisi nasi ditutupi nori yang sudah dicelupkan ke dalam kecap asin.
  • Hinomaru bentō (日の丸弁当?)
Bentō yang hanya terdiri dari nasi putih dan sebuah umeboshi yang diletakkan di tengah-tengah seperti bendera Jepang.

Istilah-istilah tentang Bento

          Bento teriyaki ayam, gyoza, dan sashimi salmon dengan teh hijau dan sup misoshiru di sebuah restoran Jepang di Jakarta.
  • Hoka bentō (ホカ弁?, bentō panas) Bentō yang dibeli dari rumah makan bentō untuk dibawa pergi, disertai nasi panas yang baru dimasak (hokahoka) disertai menu sampingan yang baru matang pula. Istilah ini populer setelah munculnya Hokka Hokka Tei.
  • Shidashi bentō (仕出し弁当?, bentō kiriman) Bentō yang tidak dibuat di rumah, melainkan dibeli di penjual bento atau rumah makan.
  • Hayaben (早弁 bentō lebih awal?) Perbuatan murid sekolah yang memakan bentō sebelum waktu makan siang tiba.
  • Soraben (空弁 bentō udara?) Bentō yang dijual di bandar udara.
  • Rokeben (ロケ弁 bentō lokasi?) Bentō yang disediakan di lokasi syuting film atau acara televisi.
  • Aisai bentō (愛妻弁当 bentō istri tercinta?) Bentō yang disiapkan istri di rumah untuk suami di kantor.
  • Reitō mikan (冷凍ミカン jeruk beku?) Pencuci mulut berupa jeruk yang dibekukan dan dijual di stasiun KA atau di atas KA bersama ekiben. 

Cara membuat bento sederhana

          Membuat bento itu gampang-gampang susah, tergantung bagamana kita menginginkannya. Jika mau cantik dan super kawaiii perlu perjuangan (waktu dan usaha) lebih, tapi jika kita ingin membuat bento alakadarnya jangan pula dibuat repot. Membuat bento tergantung daya kreasi kita dan juga keterampilan. Semakin sering membuatnya akan terasa lebih mudah dan cepat. Selanjutnya bisa membuat kita tergoda untuk membuat bento-bento yang lebih rumit seperti charaben.

          Charaben atau kyaraben adalah kependekan dari character bento. Bento yang dihias menyerupai karakter tertentu seperti manusia, binatang, tokoh kartun seperti mickey mouse, hello kity, dll.  Beberapa postingan charaben bisa diklik disini. Namun  berhubung saya juga masih belajar membuat charaben dan masih belum  berani membuat charaben yang rumit-rumit, jadi kali ini saya hanya ingin berbagi cara membuat bento sederhana.

          Bahan-bahan yang diperlukan adalah selembar daun salat, onigiri berbentuk bintang, dan wortel. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah kotak makan, serutan sayuran, cetakan kue bentuk bunga dan sebuah foodpick (tusuk makanan).

Pertama-tama buat hiasan bentonya terlebih dahulu, untuk  bento ini saya hanya menggunakan wortel saja yang dicetak menggunakan cetakan kue berbentuk bunga.
Simpan daun selada di atas bento (bisa lebih dari satu buah, biasanya untuk sekeliling bekal atau menjadi pembatas antara nasi dengan lauk lainnya. Pembatas atau pemisah makanan bentuknya bisa bermacam-macam, bahkan sudah ada yang sintetik (terbuat dari plastik atau silikon). Tapi saya lebih senang menggunakan salat karena bisa dimakan dan akan terlihat lebih segar di kotak makanan.

Jika akan dibawa ketempat jauh, sebaiknya bento di susun lebih rapat dan padat, jika tidak, susunannya bisa berantakan. Prinsip utama bento memang harus terlihat padat, sehingga ketika dibawa dan terombang ambing diperjalanan, makanan yang di dalam kotak tidak akan berubah atau bergeser dan ketika di buka masih akan tetap terlihat cantik. Karena bento yang ini tidak akan dibawa terlalu jauh, jadi saya buat agak longgar selain itu sengaja untuk mengurangi porsi (porsi diet).

Nasi kuning beruang dan cara membuatnya

          Perjalanan piknik keluarga bento mania dua minggu lalu tergolong lebih jauh di luar provinsi NRW, menuju Laachersee,  yakni danau vulkanik atau lebih tepatnya disebut kaldera yang masih aktif sampai sekarang. Mungkin kalau di Indonesia bisa diumpamakan seperti danau toba. Kami berjalan mengelilingi pinggiran danau, melewati hutan, daerah perkemahan serta daerah pertanian dengan total jarak sekitar 8 km. Kami pun berpiknik di salah satu tempat yang terlihat nyaman di bawah rerindangan pohon dengan pemandangan indah menuju danau sambil melepas lelah.
Sebagai bekal kami membawa nasi kuning yang dihias. Menghitung akan jarak perjalanan yang jauh dan jumlah peserta, saya memutuskan untuk membawa satu ricecooker penuh nasi kuning yang dipadatkan dalam sebuah wadah. Alhamdulillah, si uda mau membawanya dalam tas ransel piknik beserta piring plastik dan peralatan makan lainnya. Dalam foto, bekal seperti terlihat sedikit padahal lumayan padat, cukup untuk 5 porsi.

          Dalam bento terdapat ayam goreng bumbu kuning, kering tempe lengkap dengan teri  medan dan kacang tanah, dilengkapi telur dadar bunga serta telur balado. Selain itu saya tambahkan cetakan abon bentuk beruang dengan tambahan keju sebagai hiasan. 
  
Keju  dicetak menjadi bentuk bunga dengan menggunakan cetakan kue dan bagian tengah bunga adalah  keju emmentaler yang berwarna lebih pucat, dicetak menggunakan sedotan.

Untuk mata beruang digunakan keju dan nori. Sedangkan bagian mulut, dibuat pola angka '3', menggunakan cetakan bentuk hati (seperti yang ditunjukkan di gambar). Bagian hidungnya dicetak dengan menggunakan sedotan kecil

Kepala beruang berupa abon sapi dibentuk dengan menggunakan cetakan sandwich seperti yang pernah juga dilakukan di postingan sebelumnya. diusahakan abon padat supaya tidak buyar.

Hasilnya akan terlihat seperti gambar di atas. Sayang, mata beruangnya agak sedikit juling, karena salah memposisikan, jadi terlihat seperti beruang yang linglung.

1 komentar: