Sejarah Masakan Jepang
Kali ini kita akan membicarakan
asal-usul dari masakan Jepang. Bagi Anda yang suka makan, mungkin masakan
Jepang tidak asing lagi bagi lidah Anda. Rasanya yang enak dan manis membuat
Anda ketagihan . Tidak hanya rasanya tetapi bahan-bahan dan bumbu yang
digunakanpun menyehatkan ditambah dengan penampilannya yang menarik. Apalagi
sekarang ini restoran-restoran yang menyediakan masakan Jepang tersebar di
mana-mana. Sukiyaki, nigirizushi, dan tempura adalah salah satu contoh masakan
yang sangat populer di Indonesia, tetapi tahukah Anda sejarahnya? yu..k mari
kita simak sejarahnya berikut ini.
Sejarah
Awal
sejarah tertulis
Nihon Shoki
merupakan literatur klasik yang memuat sejarah tertulis paling tua tentang
masakan Jepang. Nihon Shoki mengisahkan tentang Iwakamutsukari-no-mikoto yang
merupakan nenek moyang klan Takahashi. Iwakamutsukari-no-mikoto menghidangkan Namasu dari ikan cakalang dan kerang Hamaguri yang
dipotong-potong dan diacar dengan cuka. Hidangan ini dibuat untuk Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi
provinsi Awa karena
bersedih atas kematian Yamato Takeru.
Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak istana dan kemudian
dijadikan dewa masakan.
Asal-usul
masakan
Nasi mulai dimakan orang Jepang sejak zaman Jomon
dengan lauk dari bahan makanan yang dibuat nimono, dipanggang, dan dikukus. Cara
mengolah makanan dengan menggoreng dikenal di zaman Asuka
dan berasal dari semenanjung Korea dan Tiongkok. Teh dan masakan khas pendeta diperkenalkan di
Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, tapi hanya
berkembang di kalangan kuil. Makanan khas pendeta dikenal sebagai makanan Buddhis (Shōjin ryōri) yang melarang
keras hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dijadikan
bahan makanan. Menurut literatur klasik Engishiki, di berbagai tempat di Jepang
barat terdapat upacara yang menggunakan ikan hasil fermentasi yang disebut Narezushi sebagai
persembahan.
Masakan
zaman Nara
Pengaruh kebudayaan Tiongkok yang kuat
di zaman
Nara berpengaruh pada masakan di zaman Nara. Makanan dimasak sebagai
hidangan pada ritual dan perayaan yang berkaitan dengan musim. Di sepanjang
tahun selalu ada perayaan dan pesta makan-makan. Cara memasak dari Tiongkok
mulai digunakan untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak
dari Tiongkok dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang
khas Jepang.
Masakan
zaman Heian
Di zaman Heian,
masakan Jepang makin berkembang sambil terus menerima pengaruh dari daratan
Tiongkok. Pada masa itu mulai dikenal makanan seperti Karaage, Karani, kue-kue asal Tiongkok (Tōgashi),
dan Natto
ala Tiongkok. Sementara itu, aliran masak-memasak dan etiket makan juga
berkembang di kalangan bangsawan. Fujiwara no Yamakage menyunting
buku memasak aliran Shijō berjudul Shijōryū Hōchōshiki atas
perintah kaisar Kōkō. Sampai saat ini,
rumah makan tradisional Jepang sering memiliki altar pemujaan (kamidana) untuk
Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.
Masakan
zaman Kamakura
Makanan olahan dari tahu yang disebut Ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan
makin populernya tradisi minum teh dan meluasnya ajaran Zen. Di zaman Kamakura,
makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani latihan dikenal sebagai masakan Kaiseki. Pendeta
Buddha bernama Eisai kembali ke Jepang membawa teh dari
Tiongkok yang dinikmati dengan masakan Kaiseki. Masakan ini nantinya berkembang
menjadi makanan untuk resepsi atau jamuan makan yang juga disebut Kaiseki, tapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda.
Masakan
zaman Muromachi
Memasuki zaman
Muromachi, kalangan samurai juga ikut dalam urusan masak-memasak di dalam istana
kekaisaran dan tata krama sewaktu makan semakin berkembang. Aliran etiket
Ogasawara berasal dari etiket kalangan samurai dan bangsawan di zaman Muromachi
dan masih dikenal hingga sekarang.
Pejabat Chūnagon
bernama Yamakage no Masatomo mendirikan
aliran masak-memasak yang disebut aliran Shijōryū.
Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul Shijōryū Hōchōsho (buku memasak
aliran Shijō).
Sementara itu, aliran memasak bernama Ōkusaryū
juga didirikan klan Ashikaga, dan sejak itu orang
mulai cerewet mengenai cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya
Honzen (Honzen no
seishiki) dan gaya Kaiseki merupakan dua aliran utama masakan
Jepang di zaman Muromachi. Pada gaya Honzen, makanan dalam porsi cukup untuk
satu orang dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut Ozen. Sementara
itu sebagai tandingan gaya Honzen diciptakan makanan gaya Kaiseki yang berkembang dari tradisi
menghidangkan makanan dalam porsi kecil seperti dalam upacara
minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang
zaman dulu untuk “luar negeri”, khususnya Portugal dan Asia
Tenggara), dan Nambansen adalah sebutan untuk kapal dari luar negeri.
Kedatangan kapal-kapal dari Namban sejak zaman Muromachi hingga zaman Sengoku
membawa serta berbagai jenis masakan yang disebut Nambanryōri (masakan luar negeri) dan Nambangashi (kue
luar negeri). Kue Kastela
yang menggunakan resep dari Portugal termasuk salah satu contoh Nambangashi.
Masakan
zaman Edo
Kebudayaan orang kota berkembang pesat
di zaman Edo
dan makanan penduduk kota seperti Tempura dan minuman Mugicha mulai banyak dijual di kios-kios pasar kaget. Pada masa itu mulai banyak
dijumpai rumah makan yang khusus menyediakan Nigirizushi dan Soba. Ōrusuichaya
adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (ryōtei)
yang digunakan kalangan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan.
Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak
mengikuti tata cara makan formal seperti masakan gaya Kaiseki atau masakan gaya
Honzen. Masakan yang berkembang di Ōrusuichaya disebut Kaisekiryōri
(会席料理 masakan jamuan makan?) yang ditulis memakai aksara
kanji yang berbeda
dengan masakan Kaiseki untuk upacara minum teh.
Sementara itu, teknik pembuatan
kue-kue tradisional Jepang (Wagashi) menjadi berkembang berkat tersedianya gula yang sudah menjadi
barang yang lumrah di zaman Edo. Alat makan dari keramik dan porselen mulai
banyak digunakan orang dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang
dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi
dimakan sebagai obat. Di pertengahan zaman Edo, makanan mulai dihias dengan Wachigai daikon
(hiasan dari lobak) sejalan dengan mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur. Di zaman
yang sama mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan
putih telur di dalam (Kimigaeshi
tamago).
Masakan
Kanto
Masakan Jepang yang dikenal sekarang
merupakan hasil penyempurnaan masakan di zaman Edo.
Di masa itu dikenal kewajiban Sankin Kōtai bagi daimyo dari seluruh
penjuru Jepang. Daimyo harus datang ke Edo untuk melakukan tugas pemerintahan
secara bergiliran sebagai pendamping shogun. Kedatangan
daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan
yang khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa dari seluruh
penjuru Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo, apalagi ditambah
dengan makanan laut dari Teluk Edo (disebut Edomae)
yang segar dan enak. Hasil laut dari Samudra
Pasifik seperti ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap
dalam sashimi.
Ikan kakap merupakan lambang kemakmuran
dan ikan kakap yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong merupakan hidangan
istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan
terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang
berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan kakap termasuk dalam makanan hiasan
yang boleh saja dimakan di tempat pesta, tapi lebih merupakan hiasan yang
dinanti-nanti para tamu untuk dibawa pulang. Tradisi membawa pulang makanan
pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di rumah berasal dari zaman
Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan kakap, tamu biasanya
dipersilakan membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar
yang dihaluskan) dan kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai
keanekaragaman di daerah Kanto disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan
Kanto digunakan untuk menandingi masakan Kansai yang telah lebih dulu dikenal.
Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin
(shōyu) sebagai
penentu rasa, termasuk pada berbagai makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan
pesta merupakan alasan kecap asin digunakan dalam jumlah banyak pada masakan
Kanto, agar rasa makanan tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan
masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun mengandalkan garam dapur
sebagai penentu rasa.
Masakan
Kansai
Masakan Kansai adalah sebutan untuk
masakan Osaka dan
masakan Kyoto.
Berbeda dengan budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya
Kyoto yang elegan. Masakan kuil agama Buddha banyak mempengaruhi masakan Kyoto
yang banyak menggunakan sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, dan sedikit makanan
laut karena letak Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara
memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu
yang memang sudah “tipis” tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan hasil awetan
seperti Bodara
(ikan Cod
kering) dan Migakinishin
(ikan Hering
kering) hingga menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
Sebagai kota tepi laut dengan hasil
laut yang melimpah, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut.
Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk
dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan
kalau sudah dingin karena menganut prinsip “makanan yang habis dimakan”.
Prinsip ini bertolak belakang dengan masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan
kalau sudah dingin. Seiring dengan perkembangan zaman, perbedaan antara masakan
Kansai dan masakan Kanto menjadi semakin kecil berkat saling belajar dari
kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Pengaruh
masakan Barat
Di awal zaman Meiji,
masakan Eropa menjadi mulai dikenal
orang Jepang yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Sementara
itu, di kalangan rakyat tercipta makanan gaya Barat (Yōshoku) yang
merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai aliran masak memasak mengalami
kemunduran dan aliran Hōchōshiki
merupakan satu-satunya aliran yang terus bertahan. Larangan makan daging
dihapus sesuai kebijakan pemerintah Meiji mengenai Haibutsu kishaku dan Shinbutsu bunri sehingga
tercipta masakan Sukiyaki. Sementara itu, Honzen ryōri yang merupakan aliran utama
masakan Jepang mulai ditinggalkan orang. Masakan tradisional berupa Kaisekiryōri
(会席料理 masakan jamuan makan?) beralih menjadi makanan
standar yang dihidangkan rumah makan tradisional (ryōtei)
dan penginapan tradisional (ryōkan).
Masakan vegetarian
Shōjinryōri
berlanjut sebagai tradisi di kuil agama Buddha dan makanan porsi kecil
Kaisekiryōri
(懐石料理?) bertahan hingga sekarang
sebagai hidangan upacara minum teh. Di bidang pertanian, tanaman sawi dan spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di
kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang disebut Chabudai sebagai pengganti nampan berkaki yang disebut Ozen. Keberadaan Chabudai yang bisa
dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya
dilakukan sendiri-sendiri dengan Ozen
pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Juru masak pewaris tradisi masakan Edo
menjadi berkurang karena menjadi korban Gempa bumi besar Kanto dan tradisi masakan Honzen ryōri mulai memudar. Etiket makan mulai
menjadi longgar dan orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan.
Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan
kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah dalam
soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan yang sama, walaupun masih
tersisa perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan selera.
BENTO
Bentō
(弁当 atau べんとう?)
atau o-bentō adalah istilah bahasa
Jepang untuk makanan bekal berupa nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan
praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan di tempat lain. Seperti halnya nasi
bungkus, bentō
bisa dimakan sebagai makan siang, makan malam,
atau bekal piknik.
Bentō
biasanya dikemas untuk porsi satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti
makanan bekal untuk kelompok atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri
di rumah. Ketika dibeli, bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali
pakai, berikut penyedap rasa yang disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin
atau saus
uster dalam kemasan mini.
Ciri khas bentō
adalah pengaturan jenis lauk dan warna agar sedap dipandang serta mengundang
selera. Bento dapat pula dihias dan disusun rapi dalam gaya yang disebut kyaraben.
Kemasan bento selalu memiliki tutup, dan wadah bentō
bisa berupa kotak atau nampan segi empat dari plastik, kotak roti, atau kotak kayu
kerajinan tangan yang dipernis. Ibu rumah tangga di Jepang dianggap perlu
terampil menyiapkan bentō, walaupun bentō
bisa dibeli di mana-mana. Di Indonesia, hidangan ala bento mulai dipopulerkan
jaringan restoran siap saji Hoka
Hoka Bento sejak tahun 1985.
Bento adalah istilah dari bahasa
Jepang untuk makanan bekal yang biasanya berisi nasi, sayuran serta lauk pauk.
Bento
dikemas dalam suatu wadah makanan sehingga sangat praktis dibawa kemana mana
dan cocok untuk bekal sarapan, makan siang saat sekolah maupun makan malam bagi
yang sudah kerja bahkan cocok juga untuk bekal piknik.
Bento biasa dsiapkan / disajikan untuk porsi satu orang walaupun arti luas bento itu sendiri adalah makanan bekal untuk banyak orang atau keluarga. Bento biasanya disiapkan ketika dirumah ketika akan bepergian namun ada juga toko toko yang menyediakan bento dengan berbagai pilihan makanan, jadi kalau malas atau tidak sempat membuat bekal bisa tinggal beli saja.
Bento biasa dsiapkan / disajikan untuk porsi satu orang walaupun arti luas bento itu sendiri adalah makanan bekal untuk banyak orang atau keluarga. Bento biasanya disiapkan ketika dirumah ketika akan bepergian namun ada juga toko toko yang menyediakan bento dengan berbagai pilihan makanan, jadi kalau malas atau tidak sempat membuat bekal bisa tinggal beli saja.
Di Jepang, Bento sendiri memiliki unsur seni di dalamnya dimana warna makanan, lauk pauk harus ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menggugah selera ketika kita melihatnya nafsu makan kita jadi bertambah. Jadi ibu rumah tangga disana dituntut untuk memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menyusun bento atau bekal makanan.
Bento ditata dalam wadah kayu berbentuk kotak, wadah plastik, nampan maupun wadah roti.
Sejarah
Pada akhir zaman
Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang
ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi kering) dan
dibawa di dalam tas kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau direbus di
dalam air sebelum dimakan. Di zaman Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah
mulai senang makan di luar, dan kotak kayu yang dipernis digunakan sebagai
wadah membawa makanan. Bentō mulai dikenal sebagai makanan
praktis dalam kesempatan hanami atau upacara
minum teh.
Pada zaman
Edo (1603-1867), kebudayaan
bentō
semakin meluas di kalangan rakyat banyak. Orang yang bepergian atau berwisata
membawa makanan praktis yang disebut koshibentō
(bentō
di pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau nasi di dalam
kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu jenis
bentō
yang disebut makunouchi bentō populer di kalangan
rakyat yang menonton pertunjukan noh dan kabuki. Bentō dimakan sewaktu
pergantian layar panggung (maku) sehingga dinamakan makunouchi bentō.
Di zaman Edo, cara memasak, mengemas, dan menyiapkan bentō
untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah diterbitkan dalam buku resep
masakan.
Penjualan paket nasi yang disebut ekiben
(駅弁 bentō
stasiun?)
dimulai sejak zaman Meiji. Ekiben
dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan hidangan khas
dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun KA Utsunomiya (Prefektur
Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai penjual
ekiben yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA Utsunomiya dijual ekiben
berupa dua buah onigiri
berisi umeboshi dan
potongan asinan lobak (takuan) dengan
pembungkus daun bambu.[2]
Bekal bentō
yang dibawa murid dan guru juga mulai populer di zaman Meiji. Jam pelajaran
baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum memiliki dapur dan
kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bentō
berisi nasi, penjual bentō juga mulai menyediakan bentō
ala Eropa berisi sandwich.
Pada zaman
Taisho (1912
- 1926),
perbedaan kaya-miskin yang tajam seusai Perang
Dunia I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan kebiasaan
membawa bentō
ke sekolah. Bentō
dituduh sebagai sarana pamer kekayaan bagi anak orang berada yang mampu membawa
nasi ke sekolah.
Pada awal zaman
Showa, kotak dari aluminum untuk membawa bento sangat digemari orang
Jepang dan merupakan barang mewah. Setelah Perang
Dunia II, tradisi membawa bentō secara
berangsur-angsur hilang sejalan dengan semakin banyaknya sekolah yang
menyediakan ransum makan siang.
Bentō
kembali populer di tahun 1980-an setelah dikenal kemasan kotak plastik polistirena
sekali pakai, oven microwave, dan semakin
meluasnya toko kelontong 24 jam. Sementara itu, bentō
buatan ibu kembali mulai digemari, dan tradisi membawa bentō
dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan bentō
untuk anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah tangga. Lauk
seperti sosis
dan nori
dipotong-potong atau digunting untuk dijadikan hiasan, seperti daun, bunga,
binatang, hingga karakter anime.
Jenis-jenis
- Shōkadō
bentō
(松花堂弁当?)
Bentō
yang dihidangkan di dalam kotak kayu dengan tutup yang bisa menutup dengan
rapat, dan di dalamnya terdapat pembatas untuk membagi wadah menjadi 4 bagian.
- Chūka
bentō
(中華弁当?,
bentō
masakan Cina)
Kemasan bentō
berisi makanan Cina
- Kamameshi
bentō
(釜飯弁当?,
bentō
nasi periuk)
Bentō
yang menggunakan periuk tanah liat sebagai kemasan.
- Makunouchi
bentō
(幕の内弁当?)
Bentō
tradisional berisi nasi dan lauk.
- Noriben
(海苔弁?)
- Hinomaru
bentō
(日の丸弁当?)
Bentō
yang hanya terdiri dari nasi putih dan sebuah umeboshi yang diletakkan di
tengah-tengah seperti bendera Jepang.
Istilah-istilah tentang Bento
Bento
teriyaki ayam, gyoza, dan sashimi salmon dengan teh hijau dan sup misoshiru di
sebuah restoran Jepang di Jakarta.
- Hoka
bentō
(ホカ弁?,
bentō
panas) Bentō
yang dibeli dari rumah makan bentō
untuk dibawa pergi, disertai nasi panas yang baru dimasak (hokahoka)
disertai menu sampingan yang baru matang pula. Istilah ini populer setelah
munculnya Hokka Hokka Tei.
- Shidashi
bentō
(仕出し弁当?,
bentō
kiriman) Bentō
yang tidak dibuat di rumah, melainkan dibeli di penjual bento atau rumah
makan.
- Hayaben
(早弁 bentō
lebih awal?)
Perbuatan murid sekolah yang memakan bentō
sebelum waktu makan siang tiba.
- Soraben
(空弁 bentō
udara?)
Bentō
yang dijual di bandar udara.
- Rokeben
(ロケ弁 bentō
lokasi?)
Bentō
yang disediakan di lokasi syuting film atau acara televisi.
- Aisai
bentō
(愛妻弁当 bentō
istri tercinta?)
Bentō
yang disiapkan istri di rumah untuk suami di kantor.
- Reitō mikan (冷凍ミカン jeruk beku?) Pencuci mulut berupa jeruk yang dibekukan dan dijual di stasiun KA atau di atas KA bersama ekiben.
Cara membuat bento sederhana
Membuat
bento itu gampang-gampang susah, tergantung bagamana kita menginginkannya. Jika
mau cantik dan super kawaiii perlu perjuangan (waktu dan usaha) lebih, tapi
jika kita ingin membuat bento alakadarnya jangan pula dibuat repot. Membuat bento
tergantung daya kreasi kita dan juga keterampilan. Semakin sering membuatnya
akan terasa lebih mudah dan cepat. Selanjutnya bisa membuat kita tergoda untuk
membuat bento-bento yang lebih rumit seperti charaben.
Charaben
atau kyaraben adalah kependekan dari character bento. Bento yang dihias
menyerupai karakter tertentu seperti manusia, binatang, tokoh kartun seperti
mickey mouse, hello kity, dll. Beberapa postingan
charaben bisa diklik disini. Namun berhubung saya juga masih belajar membuat
charaben dan masih belum berani membuat charaben yang rumit-rumit, jadi
kali ini saya hanya ingin berbagi cara membuat bento sederhana.
Bahan-bahan
yang diperlukan adalah selembar daun salat, onigiri berbentuk bintang, dan wortel. Sedangkan peralatan
yang digunakan adalah kotak makan, serutan sayuran, cetakan kue bentuk bunga
dan sebuah foodpick (tusuk makanan).
Pertama-tama
buat hiasan bentonya terlebih dahulu, untuk bento ini saya hanya
menggunakan wortel saja yang dicetak menggunakan cetakan kue berbentuk bunga.
Simpan daun selada di atas bento (bisa lebih dari satu buah,
biasanya untuk sekeliling bekal atau menjadi pembatas antara nasi dengan lauk
lainnya. Pembatas atau pemisah makanan bentuknya bisa bermacam-macam, bahkan
sudah ada yang sintetik (terbuat dari plastik atau silikon). Tapi saya lebih
senang menggunakan salat karena bisa dimakan dan akan terlihat lebih segar di
kotak makanan.
Jika akan dibawa ketempat jauh, sebaiknya bento di susun
lebih rapat dan padat, jika tidak, susunannya bisa berantakan. Prinsip utama
bento memang harus terlihat padat, sehingga ketika dibawa dan terombang ambing
diperjalanan, makanan yang di dalam kotak tidak akan berubah atau bergeser dan
ketika di buka masih akan tetap terlihat cantik. Karena bento yang ini tidak
akan dibawa terlalu jauh, jadi saya buat agak longgar selain itu sengaja untuk
mengurangi porsi (porsi diet).
Nasi kuning beruang dan cara
membuatnya
Perjalanan
piknik keluarga bento mania dua minggu lalu tergolong lebih jauh di luar
provinsi NRW, menuju Laachersee, yakni danau vulkanik atau lebih tepatnya
disebut kaldera yang masih aktif sampai sekarang. Mungkin kalau di Indonesia
bisa diumpamakan seperti danau toba. Kami berjalan mengelilingi pinggiran
danau, melewati hutan, daerah perkemahan serta daerah pertanian dengan total
jarak sekitar 8 km. Kami pun berpiknik di salah satu tempat yang terlihat
nyaman di bawah rerindangan pohon dengan pemandangan indah menuju danau sambil
melepas lelah.
Sebagai bekal kami membawa nasi
kuning yang dihias. Menghitung akan jarak perjalanan yang jauh dan jumlah
peserta, saya memutuskan untuk membawa satu ricecooker penuh nasi kuning yang
dipadatkan dalam sebuah wadah. Alhamdulillah, si uda mau membawanya dalam tas
ransel piknik beserta piring plastik dan peralatan makan lainnya. Dalam foto,
bekal seperti terlihat sedikit padahal lumayan padat, cukup untuk 5 porsi.
Dalam
bento terdapat ayam goreng bumbu kuning, kering tempe lengkap dengan teri
medan dan kacang tanah, dilengkapi telur dadar bunga serta telur balado. Selain itu saya
tambahkan cetakan abon bentuk beruang dengan tambahan keju sebagai hiasan.
Keju dicetak menjadi bentuk bunga dengan menggunakan
cetakan kue dan bagian tengah bunga adalah keju emmentaler yang berwarna
lebih pucat, dicetak menggunakan sedotan.
Untuk mata beruang digunakan keju dan nori. Sedangkan bagian
mulut, dibuat pola angka '3', menggunakan cetakan bentuk hati (seperti yang
ditunjukkan di gambar). Bagian hidungnya dicetak dengan menggunakan sedotan
kecil
Kepala beruang berupa abon sapi dibentuk dengan menggunakan
cetakan sandwich seperti yang pernah juga dilakukan di postingan sebelumnya. diusahakan abon padat supaya tidak
buyar.
Hasilnya akan terlihat seperti gambar di atas. Sayang, mata beruangnya
agak sedikit juling, karena salah memposisikan, jadi terlihat seperti beruang
yang linglung.
tambahkan lagi yah postingan nya
BalasHapus